Fri. Dec 6th, 2024

Sebelum Ramadhan datang, Menkominfo menyatakan akan menutup situs porno dan sekarang pernyataan itu memang telah dilakukan. Pernyataan ini mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan karena pemblokiran ini merupakan respon atas desakan masyarakat yang resah mengenai dampak pronografi terhadap meningkatnya angka kejahatan seksual. Meski demikian, benarkah ada korelasi positif antara pemblokiran situs porno dengan menurunnya tindakan kejahatan seksual?

Riset Helsper (2005) menguji tentang material dewasa (R18) –materi bermuatan seksual secara eksplisit- sebagai rekomendasi untuk badan regulasi UK dalam memutuskan materi-materi apa yang perlu diproteksi dari individu usia di bawah 18 tahun. Langkah ini diambil untuk melindungi usia tersebut dari terpaan materi seksual eksplisit untuk orang dewasa. Hasilnya, badan tersebut mencabut larangan penayangan material R18 di televisi, yang telah eksis sebelumnya, sehingga tayangan sejenis yang juga dikategorisasikan sebagai X18+ di Australia itu dinyatakan boleh ditayangkan antara pukul 21.00 – 05.30 waktu setempat semenjak 25 Juli 2005. Dengan kata lain, riset ini tidak mendukung adanya pemblokiran atau pun peningkatan sensor sebagai salah satu upaya perlindungan dari kejahatan seksual. Ini senada dengan riset Davis & McCormick (1997) yang menyebutkan meskipun terpaan materi yang mengandung seks dan kekerasan dapat mendorong pada perilaku dan sikap yang tidak diinginkan, meningkatkan sensor tidak akan effektif dalam mengatasi hal ini.

Felson (1996) mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung hipotesis pornografi meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, dalam studi eksperimen menunjukkan bahwa kelompok pemerkosa menunjukkan lebih sedikit mendapatkan paparan pornografi dibandingkan dengan kelompok kontrol (bukan pemerkosa) (dalam riset Linz dan Malamuth, 1993). Kendall (2006) menyebutkan bahwa pornografi dan pemerkosaan tidak berjalan beriringan. Di dalam risetnya, Kendall menyebutkan bahwa akses pornografi tinggi terdapat pada kelompok usia 15-19 tahun yang masih tinggal bersama orang tua. Dengan kata lain, pornografi tidak mendorong pada peningkatan pemerkosaan atau pun tindakan agresif lainnya tetapi longgarnya pengawasan orang tua dapat berpotensi menjadi penyebabnya. Riset Pally (1996) menguraikan faktor lainnya bahwa peningkatan kejahatan atau kekerasan seksual tidak dipengaruhi oleh ketersediaan materi seksual dan pornografi tetapi dipengaruhi oleh tingginya angka jumlah laki-laki yang tidak menikah di wilayah tersebut.

Cooper, dkk (1999) menyebutkan bahwa potret media dan persepsi publik tentang dimensi seksual dalam internet dipenuhi dengan berbagai mitos yang mengaburkan realitas. Ini dibuktikan dengan hasil studi bahwa 92% orang yang on-line untuk tujuan seksual tidak menghabiskan waktu eksesif dan perilaku ini juga hanya sedikit menunjukkan interferensi dalam kehidupan nyata.

Ini juga dikatakan Kutchinsky (1991). Ketersediaan materi pornografi memiliki dampak detrimental terhadap peningkatan kekerasan seksual. Diamond (2009) mengatakan bahwa tidak ada konsistensi hasil penelitian dampak pornografi terhadap peningkatan atau penurunan kejahatan seksual. Bahkan, di berbagai negara tidak menunjukkan adanya kecenderungan untuk membatasi pornografi pada orang dewasa. Meski demikian, terdapat konsistensi hasil temuan bahwa orang dewasa sepakat untuk melarang produksi materi seksual baik yang menggunakan atau pun ditujukan untuk anak-anak. Hal senada juga disampaikan oleh Diamond dan sejumlah koleganya terhadap hasil riset di sejumlah negara sepertu US, Jepang, dan RRC.

Perlindungan Anak dari Pornografi
Dalam pendekatan sosio-psikologis (Littlejohn & Foss, 2005), anak-anak merupakan kelompok yang belum memiliki self regulations & censorship sehingga mudah sekali untuk mendapatkan pengaruh dari lingkungannya. Sensor dan peraturan diri ini menjadi semacam saklar dalam diri individu untuk menerima, mengolah, atau pun menolak terpaan nilai-nilai dari luar dirinya. Terpaan informasi baru di dalam individu berpotensi untuk disetujui, ditolak, ataupun diolah untuk menjadi pemahaman baru. Hal ini akan terus bermetamorfosis bentuk dan pengungkapannya sesuai dengan dinamika pengalaman dan referensi individu tersebut. Memperkuat hal tersebut adalah social learning theory yang disampaikan oleh Bandura. Anak-anak belajar baik buruk dari lingkungan terdekatnya dan melakukan imitasi terhadap itu sehingga mereka memang perlu mendapatkan proteksi dari pengaruh buruk tersebut, termasuk dari pornografi dan kejahatan seksual.

Salah satu upaya lebih penting, daripada pemblokiran/sensor, adalah revitalisasi fungsi keluarga. Optimalisasi fungsi keluarga sebagai lingkungan terkecil pertama kali dimana anak belajar tentang nilai-nilai adalah krusial di tengah perubahan fungsi keluarga akibat dinamika sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Sebagai contoh, akibat tekanan ekonomi orang tua tidak memiliki waktu cukup untuk melakukan transfer nilai-nilai positif kepada anak-anaknya. Orang tua sibuk untuk melakukan making life daripada life making. Orang tua sebagai significan others, pihak yang memiliki pengaruh penting pada anak, karena desakan kehidupan melupakan untuk membuat kehidupan bersama dengan anak-anak melalui pembentukan karakter yang salah satunya dapat terjadi melalui intensitas komunikasi yang efektif di antara mereka.

Salah satu nilai dan pengatahuan yang dapat ditransfer kepada anak-anak melalui keluarga adalah seks. Anak-anak perlu mendapatkan ini sedari dini jika didasarkan peda pernyataan Freud bahwa manusia adalah makhluk seksual. Pengetahuan tentang organ seksual dan fungsinya, tata cara dan etika menjalin relasi dengan lawan jenis, preferensi seksual dan seksualitas, ekpresi seksual dan romantis di wilayah publik dan privat adalah sebagian hal yang dapat dibicarakan dalam keluarga. Kenyataannya, seks sampai sekarang ini masih menjadi hal tabu bagi mayoritas keluarga di Indonesia.

Ketabuan itu dilegitimasi dengan konstruksi sosial yang ada bahwa seks hanya dapat dibicarakan secara serius ketika telah mencapai usia 17 tahun. Padahal, informasi menyesatkan tentang seks ada setiap saat menerpa selama masa perkembangan anak. Selain itu, sebagian besar orang tua juga acapkali kebingungan –tidak tahu- untuk menjelaskan hal ini karena mereka juga tidak mendapatkan ini dari generasi sebelumnya. Dari sinilah, dekonstruksi sosial tentang tabu ini perlu dilakukan.

Dari uraian di atas, pemblokiran atau penyensoran tidak akan efektif jika self regulation & censorship yang dimiliki individu tidak melarang untuk mengonsumsi pornografi secara bijaksana. Apalagi, jika penyensoran/pemblokiran ini dipilih sebagai kebijakan tanpa didasari oleh telaah yang komprehensif, ini hanya berpotensi akan menjadi sebuah produk yang berdampak massif tetapi didasarkan pada mitos yang acap kali tidak teruji kebenarannya. Akibatnya, alih-alih melindungi anak dan menurunkan kejahatan seksual, yang terjadi justru bisa sebaliknya. Bisa dijadikan pertimbangan adalah statistik akses pornografi di negara muslim yang cenderung menerapkan kebijakan sensor, pembatasan, dan pemblokiran terhadap pornografi, prevalensinya ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain yang tidak memilih kebijakan sejenis itu.

By Cholis