Fri. Apr 19th, 2024

Maraknya kasus yang muncul dari praktik layanan “kredit” cepat cair di DIY dan sekitarnya tidak dapat dilepaskan dari belum tersedianya sarana bantuan atau penyediaan dana untuk modal usaha maupun untuk berbagai pemebuhan kebutuhan dasar yang mudah, cepat dan berbunga ringan. Persoalan ini berdampak pada munculnya praktik-praktik bisnis “Kredit Cepat cair” sebagai peluang usaha sebagian orang guna menjawab kebutuhan masyarakat. Seolah memberi solusi masalah keuangan, ternyata praktik bisnis semacam ini justru telah menjerumuskan konsumen ke dalam “lubang masalah” yang ,ebih dalam dan besar. Bunga tinggi (tidak wajar) yang dibebankan kepada konsumen adalah biangnya. Sebagian pinjaman akhirnya macet dan tak terbayar yang berdampak pada meningkatya jumlah kewajiban konsumen untuk membayar hutang pokok plus bunga dan denda. Lemahnya daya tawar konsumen (lebih-lebih saat dimana ia sedang dihadapkan pada kebutuhan mendesak) sering dimanfaatkan pelaku bisnis di bidang ini untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Lembaga Ombdusman Swasta (LOS) mencatat tahun 2010 ini ada 111 kasus keuangan yang dilaporkan masyarakat, terutama pedagang kecil dan buruh.  Ada kurang lebih 51 perusahaan pembiayaan termasuk di dalamnya sebanyak 17 kasus “kredit cepat cair”.
Permasalahan ini timbul akibat ketiadaan kontrol atau pengawasan dari pemerintah. Akibatnya, usaha semacam ini pun tumbuh dengan pesat karena permintaan masyarakat golongan menengah ke bawah cukup tinggi. Kasus ini makin menegaskan bahwa pengawasan layanan jasa keuangan sudah sangat mendesak. Era otonomi daerah ternyata mengesampingkan pengawasan praktik usaha di sektor keuangan non Bank (baik Asuransi maupun Lembaga Pembiayaan) di daerah. Artinya, tidak ada satupun otoritas publik di daerah yang mempunyai dan diberi kewenangan untuk itu.  Akhirnya yang terjadi adalah, masalah-masalah konsumen layanan jasa keuangan di daerah tidak dapat mengakses bantuan/advokasi dari pemerintah daerah. Mereka harus berjuang sendiri ke pemerintah Pusat (Departemen Keuangan/Bapepam-LK). Tentu saja akses keadilan konsumen makin menjauh dalam kasus ini… sampai kapan??

Di samping itu, semestinya hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menyediakan akses dana yang mudah dan murah bagi masyarakat pada umumnya. Memperoleh layanan pinjaman yang murah dan accessable, itulah harapan masyarakat yang belum bisa dipenuhi oleh lembaga perbankan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa beban hidup sebagian masyarakat kita masih mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya guna menjawab persoalan ini. Jika mereka mempunyai alternatif untuk mengakses dana murah dari pemerintah, dapat dipastikan bisnis “kredit cepat cair” dan semacamnya akan menghilang dengan sendirinya.

Maka, selain political will di sektor penyediaan anggaran, tindakan yang perlu segera dilakukan ialah membangun sistem pengawasan layanan jasa keuangan dalam lingkup otonomi daerah secara penuh. Jangan sampai pemerintah daerah justru hanya memperoleh dampak buruknya (yakni munculnya berbagai persoalan dan kasus yang menimpa masyarakatnya), tanpa bisa berbuat apapun juga.

Bila pengawas lokal belum dapat segera diterapkan, akan lebih baik jika pemerintah daerah mencegah bisnis/usaha semacam ini tumbuh. Caranya adalah dengan memperketat pemberian izin usaha, dan mengontrol kesesuaian ijin yang diberikan dengan usaha yang dijalankan.


By Cholis

3 thoughts on “Pentingnya Pengawasan Layanan Jasa Keuangan Non Bank”

Comments are closed.