Terhadap rencana pengurangan/pencabutan subsidi listrik untuk daya 450 VA dan 900 VA, Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY) berpandangan bahwa:
1. Bahwa Tenaga Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok warga masyarakat di semua lapisan yang harus terpenuhi untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia serta meningkatkan kualitas kehidupan. Maka hak warga Negara untuk mengakses kebutuhan dasar tanpa kecuali. Sebaliknya, kewajiban Negara/pemerintah untuk menyediakan listrik bagi warganya, termasuk dengan skema pemberian subsidi. Menurut catatan subsidi listrik kurang dari 3% APBN, jadi relatif kecil dan tidak membebani ketimbang subsidi BBM.
2. Penyediaan Tenaga Listrik dikelola (baca: dimonopoli) oleh Negara melalui BUMN/BUMD dengan semangat Pasal 33 UUD 1945. Peran utamanya ada pada pemerintah dan pemerintah daerah; maka perlu kajian juga terhadap peran pemerintah daerah dalam penyediaan tenaga listrik agar justru tidak membebani warganya (seperti kasus Pajak Penerangan Jalan/PPJ, yang justru pemerintah daerah “menambah beban warga” melalui penyediaan listrik oleh PLN). Apalagi jika PPJ diperuntukkan tidak hanya untuk penerangan jalan tetapi juga kepentingan lain yang tidak terkait. Jadi tanggung jawab efisiensi dan produktivitas PLN dalam mengelola/menyediakan tenaga listrik tidak boleh “digeser” ke pengguna/konsumen.
Pasal 4 ayat (3) UUK mengatur bahwa:
Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk:
a. kelompok masyarakat tidak mampu;
b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang;
c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan; dan
d. pembangunan listrik perdesaan.
3. Pemberian subsidi selama ini (melalui PLN) rawan penyimpangan, demikian pernyataan Menteri ESDM; maka diwacanakan langsung diberikan ke pengguna. Maka Audit kinerja PLN secara menyeluruh perlu dilakukan terlebih dahulu untuk melihat apakah persoalan dasar ada pada pengelolaan dana subsidi oleh PLN atau yang lain. Sebab jika inefisiensi itu terletak pada manajemen PLN, adalah tidak adil apabila “pertanggungjawabannya” dibebankan pada pengguna/konsumen. Perlu dicatat bahwa PT PLN (Persero) sebagai pihak penghasil listrik, lebih banyak menggunakan bahan bakar dari fosil yang mencapai hampir 88 persen di mana 44 persen dari batubara, 23 persen BBM dan 21 persen gas alam. Padahal penggunaan bahan bakar fosil memerlukan biaya yang besar. Sedangkan penggunaan bahan bakar non-fosil yang biayanya rendah seperti panas bumi, matahari, hydro dan lainnya baru mencapai 13,7 persen.
4. Pengguna listrik adalah konsumen yang membeli dan membayar sesuai kewajibannya. Daya 450 atau 900 VA itu adalah PILIHAN konsumen sesuai kebutuhan dan kemampuan bayarnya. Ada hak untuk memilih yang dijamin oleh UU untuk secara bebas digunakan oleh konsumen dan tertuang dalam kontrak jual beli dengan PLN. Maka PLN tidak bisa memaksa konsumen beralih ke daya yang lebih tinggi dengan konsekuensi tarif/beaya yang lebih mahal; apalagi tanpa kompensasi apapun dan tanpa jaminan kualitas pelayanan yang lebih baik. Kualitas pelayanan PLN yang kurang baik antara lain ditunjukkan dengan masih adanya konsumen yang tidak terlayani ketersediaan listrik meski sudah memenuhi kewajiban; profesionalitas tenaga lapangan yang masih menimbulkan kerugian konsumen (yang kompensasinya sulit diperoleh); pemadaman listrik yang tanpa pemberitahuan; dll.
5. Pemerintah menilai bahwa kebijakan pengurangan/pencabutan subsidi listrik perlu dilakukan karena penggunaan listrik yang boros (tidak hemat) karena konsumen membayar murah. Bukankah borosnya penggunaan listrik oleh konsumen sesungguhnya menguntungkan PLN? Persoalan boros atau in-efisiensi dalam pola konsumsi tidak hanya terjadi dalam hal penggunaan listrik saja, tetapi juga dalam berbagai kebutuhan atau komoditas lainnya (gaya hidup konsumtif menjadi gejala umum). Di sini yang diperlukan adalah “pendidikan konsumen” agar mereka dapat berperilaku hemat dalam konsumsi (sustainable consumption). Jadi pencabutan subsidi tidak akan serta merta merubah pola konsumsi listrik.
6. Sebagaimana penetapan UMP dilakukan dalam konteks kesejahteraan pekerja, maka persoalan harga/tarif listrik sejatinya dapat diberlakukan dengan pendekatan yang sama; sebab sesungguhnya kondisi dan daya beli warga masyarakat di setiap daerah berbeda-beda. (Dasar hukum Pasal 34 ayat (5) UUK). Pasal 34 UUK mengatur bahwa:
(1) Pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2) Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(5) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.
7. Basis data konsumen tidak mampu yang digunakan PLN dalam rencana pengurangan subsidi listrik berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif dan kecemburuan sosial. Dari pada “mengganggu” subsidi listrik yang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi banyak orang, sebaiknya pemerintah fokus pada kebijakan penghematan secara menyeluruh dan meningkatkan pemberantasan korupsi sehingga bisa menekan kebocoran anggaran dan dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang berdampak luas di masyarakat. Sementara itu PLN disamping berhemat, juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada pengguna/konsumennya.
8. Berdasarkan hal-hal di atas, LKY menolak rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi listrik bagi pelanggan 450 VA dan 900 VA dan mendorong pemerintah dan PLN untuk mengoptimalkan kinerja mereka dalam penyediaan listrik bagi warga masyarakat, termasuk dalam hal penyediaan dana dan efisiensi di tahap produksi listrik. Optimalisasi dan efisiensi harus dilakukan terlebih dahulu di semua sektor energy (tidak hanya listrik/PLN). Di samping itu upaya untuk mengurangi kebergantungan bahan bakar fosil dalam pembangkit listrik juga harus terus dioptimalkan, termasuk penggunaan energy terbarukan (non-fosil)
Yogyakarta, 23 Oktober 2015
Ttd.
J.Widijantoro,SH.,MH.
Koordinator Advokasi dan Anggota Dewan Pengurus LKY