Fri. Dec 6th, 2024

Anak-anak menjadi kelompok yang sangat rentan dan berisiko tinggi akibat konsumtivisme yang kian hari kian menggila. Sebagai contoh, iklan produk anak-anak yang menggunakan bintang iklan anak-anak di tayangan anak-anak pun seolah tanpa batas. Bahkan, eksploitasi terhadap anak untuk penyampaian pesan produk yang deseptif menjadi hal banyak dilakukan. Akibatnya, anak-anak yang belum memiliki self-regulations & censorship cukup sangat mudah untuk dipengaruhi dan menjadi konsumtif dengan keinginan konsumsi yang meninggi kian hari.

Kondisi ini diperparah dengan perubahan keluarga akibat dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi. Keluarga yang konon dijadikan sebagai salah satu organisasi terkecil yang mampu mewariskan nilai-nilai sosial secara maksimal kini mengalami revolusi. Ibu yang di masa generasi terdahulu mengetahui makanan-makanan tradisional dengan gizi baik untuk anak dengan harga terjangkau, kini memilih untuk memberikan apa yang dimau anak secara instan dengan alasan tidak ada waktu atau tidak tega melihat anak merengek karena menginginkan makanan instan yang mengandung kanduangan kimiawi yang tidak ramah anak. Sementara itu, bapak karena tuntutan ekonomi kini seolah menjadi robot yang fokus pada pemenuhan finansial karena kehidupan yang kian mahal akibat interaksi global yang tidak seimbang.

Konsumen Anak dan Perlindungannya
Artikel ini menekankan pada dua isu, yakni anak-anak dan informasi/media, dan anak-anak dan makanan. Secara umum, kedua isu tersebut memiliki hal mendasar yaitu perlindungan terhadap anak dan edukasi tentang keinginan dan kebutuhan dalam diri anak-anak.

Sebagai salah satu konsumen media, anak-anak sekarang ini sangat mudah untuk teterpa informasi apapun, termasuk yang potensial memberikan dampak buruk. Akibat terpaan media pula, anak-anak saat ini menjadi akrab dengan kata-kata “sadis”, “pemerkosaan”, “mesum”, dan kata-kata sejenisnya yang belum seharusnya diketahui pada masa mereka tumbuh dan berkembang.

Secara ekonomi, anak-anak pun menjadi kelompok yang “sexy and juicy” sebagai target pasar yang menggiurkan. Pengamatan sederhana, dalam tayangan untuk anak-anak di televisi dengan durasi 30 menit, 50% di antaranya dapat berupa iklan produk anak-anak yang dibintangi oleh orang dewasa maupun anak-anak. Secara singkat, pembatasan iklan yang menumbuhkan sikap konsumtif pada jam-jam dimana anak-anak mengonsumsi media-televisi- tidak memiliki regulasi yang jelas.

Dengan demikian, anak telah menjadi korban dari perilaku orang dewasa baik yang berada langsung di sekitarnya –orang tua, kakak, dan lain-lain- yang tidak mampu melindunginya dari itu semua dan orang dewasa yang berada di belakang media yang tidak secara serius memikirkan dampak isi media terhadap kelompok paling rentan ini.
Bukti kerentanan anak ini pun telihat pada konsumsi anak terhadap kelompok makanan tertentu. Anak-anak sekarang memiliki preferensi yang lebih terhadap makanan cepat saji dan instant. Makanan ringan untuk anak –snack- yang ada hampir dapat selalu dipastikan dipenuhi dengan “racun pembunuh” jangka panjang seperti MSG, garam dan gula dengan kadar tinggi, dan miskin kandungan gizi. Celakanya, orang tua –orang dewasa- seringkali juga tidak tahu bahaya dari unsur tersebut. Kalau pun tahu, mereka mengaku belum bisa mencontohkan karena masih tetap mengonsumsinya sehingga anak pun tidak mendapatkan pengetahuan tentang apa yang baik untuk konsumsinya dan sebaliknya. Akibatnya, meskipun tidak mengonsumsi makanan yang mengandung unsur yang dibutuhkannya, anak-anak ini tetap merasa sehat dan kenyang, tidak membutuhkan kandungan gizi yang dibutuhkannya.

Bukan hanya itu, kabar tentang anak-anak yang keracunan makanan akibat kandungan kimia berbahaya dalam makanan dan makanan yang tidak higienis pun acapkali terdengar. Kebiasaan jajan sembarangan dan pola konsumsi yang tidak berimbang selalu menjadi alasan tentang hal ini, selain ulah pedagang/produsen yang tidak bertanggung jawab. Pedagang/produsen perlu menyadari bahwa penyediaan/pelayanan produk dengan menggunakan perspektif konsumerisme akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dengan mendapatkan kepercayaan dan kepuasan dari konsumen. Meski demikian, banyak yang belum menyadari hal tersebut. Bahkan, respon terhadap keluhan konsumen acapkali ditanggapi lambat dan dengan penanganan yang berpotensi meletakkan konsumen pada sisi tidak kuat.

Pentingnya Melek Konsumerisme
Isu konsumerisme yang beresensi keberpihakan kepada hak dan kewajiban konsumen –bisa jadi- tidak terlalu populer di Indonesia. Ini diindikasikan dari masih banyaknya konsumen yang tidak menyadari hak-haknya sebagai konsumen dan relasi produsen-konsumen yang relatif tidak seimbang.
Secara praktikal, ide ini menekankan bahwa konsumen perlu menjadi kritis, cerdas, dan berdaya dengan mampu membedakan kebutuhan, keinginan, menyuarakan hak, dan memenuhi kewajibannya.
Untuk anak-anak, hal pertama yang dipandang krusial dan perlu ditanamkan sedari dini adalah penyadaran tentang kebutuhan dan keinginannya. Anak-anak dalam masa pertumbuhannya secara dominan dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya baik di dalam keluarga maupun sekolah. Significant others mereka bisa berubah dari orang tua (anggota keluarga inti), menjadi guru, atau teman sebaya. Akibatnya, apa yang dilakukan oleh lingkungn pergaulannya menjadi begitu mudah (tanpa tersadari) ditiru oleh mereka. Ini tidak akan menjadi persoalan jika itu positif, tetapi secara umum pengaruh buruk lebih mudah diikuti daripada sebaliknya.
Oleh karena itu, lingkungan pergaulan ini perlu meremediasi dirinya melalui secara sitematis dan gradual mengajak anak untuk menyadari apa yang menjadi kebutuhannya –apa yang memang secara fungsional bermanfaat bagi dirinya- dan membiasakan untuk memikirkan apa keinginannya –hal yang “seolah” perlu tetapi sebenarnya tidak memiliki unsur fungsional secara nyata.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagi cara, seperti penguatan sendi-sendi keluarga yang dapat dimulai sebelum keluarga itu sendiri terbentuk. Oleh karenanya, pernikahan dini banyak disebut dalam literatur sebagai salah satu tidak berkualitasnya bentukan keluarga. Keterlibatan orang tua yang lebih intensif dengan membanyak informasi tentang konsumerisme dan penegakkan aturan keluarga yang dibuat secara bersama oleh masing-masing anggota untuk ditaati. Terakhir, penguatan lembaga/kelompok, baik formal maupun informal, yang menaruh perhatian pada isu konsumerisme agar mampu memberikan edukasi menuju melek konsumerisme secara massif.
Pun demikian dengan anggota masyarakat secara umum. Mereka perlu menyadari akan pentingnya solidaritas konsumen sehingga mereka dapat saling bertukar informasi dan menguatkan posisi dalam berelasi dengan produsen/pedagang. Penguatan ini dapat dilakukan melalui membentuk jejaring dan, yang paling penting, adalah menanamkan pada diri sendiri bahwa kerugian yang dialami konsumen lain lain, tidak menutup kemungkinan, suatu saat akan dialminya.

dimuat di Harian Jogja 14 Agustus 2010

By Cholis

2 thoughts on “Konsumerisme untuk Anak”

Comments are closed.