Iklan rokok di media penyiaran, terutama televisi, kini semakin “kreatif”. Semula iklan ini hanya tampil sesudah pukul 21.30 WIB, kini di siang hari pun logo rokok leluasa berseliweran di layar kaca. Bukan hanya kemasan dan temanya yang kreatif, kini rokok pun memanfaatkan iklan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tameng. Kreativitas iklan ini menyasar kelompok muda dan remaja dengan asumsi mereka adalah konsumen (perokok) di masa depan. Strategi subliminal ini memang ampuh memapar tanpa audiens menyadari bahwa dirinya tengah terpapar oleh iklan ini. Terpaan melalui media penyiaran ini, kemudian diperkuat dengan paparan di media lini bawah yang setiap hari dengan mudah dapat ditemui.
Lingkungan dan media mampu mengajarkan kepada individu tentang suatu perilaku, sikap, atau preferensi tertentu sebagaimana yang dinyatakan oleh Bandura dalam social learning theory. Terpaan iklan rokok yang bertubi, lingkungan keluarga, masyarakat, dan budaya, serta sedikitnya pengetahuan tentang menghindarkan diri dari perokok dan perilaku merokok, menjadikan individu berpotensi besar untuk menjadi perokok. Sebagaimana diketahui, media televisi memaparkan pesan iklan rokok sedemikian rupa dalam intensitas yang tinggi –durasi film 2 jam dengan iklan rokok berkisar pada total durasi 25 menit, belum lagi ditambahkan dengan iklan korporat yang muncul di luar jam tersebut- mampu mempengaruhi preferensi individu terhadap rokok. Laporan US Surgeon General menyimpulkan bahwa iklan rokok meningkatkan konsumsi melalui beberapa cara, yaitu: (a) Menciptakan norma bahwa rokok adalah baik dan biasa (b) Mendorong anak-anak untuk mencoba merokok (c) Mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok (d) Mengurangi peluang diskusi terbuka tentang bahaya rokok karena adanya pendapatan dari iklan rokok.
Sayangnya, UU Penyiaran masih mengakomodasi iklan rokok dan tidak menganggapnya sebagai zat adiktif. Padahal, dampak iklan rokok dalam media penyiaran berkorelasi pada meningkatnya jumlah perokok dan dampak yang akan ditimbulkannya. Penelitian Komnas Perlindungan Anak tahun 2007 menunjukkan bahwa 91,7% remaja berusia 13-15 tahun di DKI Jakarta merokok karena didorong oleh pengaruh iklan. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia pada tahun 2006 melaporkan lebih dari 37,3% pelajar biasa merokok dan tiga diantara sepuluh pelajar Indonesia menyatakan pertama kali merokok pada umur di bawah 10 tahun. The Tobacco Atlas mencatat, ada lebih dari 10 juta batang rokok dihisap setiap menit, tiap hari, di seluruh dunia oleh satu miliar laki-laki, dan 250 juta perempuan. Sebanyak 50 persen total konsumsi rokok dunia dimiliki China, Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan Indonesia. Bila kondisi ini berlanjut, jumlah total rokok yang dihisap tiap tahun adalah 9.000 triliun rokok pada tahun 2025. Di Asia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok yang mencapai 146.860.000 jiwa. Penelitian di empat kota yaitu Bandung, Padang, Yogyakarta dan Malang pada tahun 2004, prevalensi perokok usia 5-9 tahun meningkat drastis dari 0,6 persen (tahun 1995) menjadi 2,8 persen (2004). Peningkatan prevalensi merokok tertinggi berada pada interval usia 15-19 tahun dari 13,7 persen menjadi 24,2 persen atau naik 77 persen dari tahun 1995. Sejauh ini, menurut WHO, tembakau berada pada peringkat utama penyebab kematian yang dapat dicegah di dunia. Tembakau menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia dan mengakibatkan 5,4 juta kematian pada tahun 2006. Ini berarti rata-rata satu kematian setiap 6,5 detik. Kematian pada tahun 2020 akan mendekati dua kali jumlah kematian saat ini jika kebiasaan konsumsi rokok saat ini terus berlanjut. Pada tahun 2015, diperkirakan tembakau dan rokok akan menyumbang 10% dari jumlah kematian di seluruh dunia.
Rokok dan Logika Ekonomi
Advokasi untuk pelarangan iklan rokok di media penyiaran sejauh ini dikonfrontasikan dengan sejumlah logika ekonomi seperti industri rokok selama ini telah mendukung perkembangan industri kreatif, seperti kesenian, musik, dan kebudayaan, olah raga, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja, investasi, hasil pertanian, dan pendapatan cukai negara. Ribuan petani dan tenaga kerja akan menganggur dan industri kreatif pun akan terhambat perkembangannya jika larangan iklan rokok di media penyiaran dilegalkan.
Logika ekonomi tersebut tentunya tidaklah boleh dilupakan, tetapi terdapat fakta lain yang seharusnya dipertimbangkan. Studi Lembaga Demografi (LD FEUI) tahun 2007, menunjukkan bahwa industri tembakau hanya memberikan kontribusi 1 persen dari total output nasional dan menduduki peringkat ke-34. Sumbangan terhadap lapangan kerja pada industri rokok menduduki urutan ke-48, sedangkan pertanian tembakau menduduki urutan ke-30 di antara 66 sektor. Secara nasional, jumlah tenaga kerja industri tembakau dan petani cengkeh adalah kurang dari 2 persen dari jumlah pekerja di semua sektor dengan upah di bawah upah minimum regional. Dari sisi penerimaan negara melalui cukai rokok, Indonesia masuk dalam kategori terendah nomor 2 yang menetapkan batas cukai maksimal sebesar 57%. Sementara, rata-rata cukai gobal adalah 65%, India 72 %, Thailand 63%, dan Jepang 61%. Dengan demikian, menaikkan cukai rokok bearti meningkatkan pula pendapatan negara. Selain menaikkan pendapatan, penaikan cukai ini juga akan mencegah 2,4 juta kematian akibat rokok dan menambah pendapatan negara Rp 50,1 triliun. Mendukung riset ini adalah Survey Ekonomi dan Kesehatan Nasional yang menyebutkan bahwa konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau di Indonesia menduduki ranking kedua (12,43 persen) setelah konsumsi beras (19.30 persen). Orang miskin di Indonesia mengalokasikan uangnya untuk rokok pada urutan kedua setelah membeli beras. Mengeluarkan uangnya untuk rokok enam kali lebih penting dari pendidikan dan kesehatan. Artinya, kebijakan ini juga akan berkontribusi positif terhadap upaya pengurangan kemiskinan.
Pelarangan iklan rokok di media penyiaran juga tidak akan mematikan perkembangan industri kreatif. Sejumlah film dengan kualitas prima dan diterima oleh masyarakat seperti Laskar Pelangi tidak berafiliasi dengan perusahaan rokok. Banyak industri non-rokok yang mampu mendukung perkembangan kesenian dan industri kreatif seperti mie instan, perbankan, minuman bernergi, dll. Bahkan, industri non-rokok ini lebih fleksibel untuk menjangkau seluruh lapisan khalayak, dari orang tua sampai anak-anak. Sebuah hal yang tidak berlaku untuk industri rokok. Selain itu, pelarangan iklan rokok di media penyiaran juga tidak akan membuat perusahaan bangkrut. Fakta di negara maju, sejumlah perusahaan rokok seperti Philip Morris dan British American Tobacco (BAT) malah mendunia. Sebelumnya diketahui bahwa Philip Morris membeli Sampoerna dan baru-baru ini BAT membeli Bentoel.
Rokok dan Anak-anak
Anak-anak merupakan kelompok warga negara yang harus lebih memerlukan perlindungan karena ketidakberdayaan mereka. Anak-anak adalah imitator ulung yang mudah terpengaruh oleh terpaan pesan dari media yang dikonsumsinya. Bahkan, dari media yang tidak sengaja dikonsumsinya. Ketidakberdayaan anak-anak dalam melakukan self-regulation dan mengendalikan perhatiannya terhadap suatu obyek menjadikannya sebagai “calon” perokok yang berpotensi besar menjadi konsumen abadi di masa mendatang. Anak-anak dengan mudah terpapar oleh pesan dan memiliki sensor pribadi yang lebih ringkih dibandingkan pada orang dewasa. Oleh karenanya, pesan apapun, termasuk iklan rokok, tidak akan menimbulkan konflik di dalam dirinya. Ketiadaan konflik di dalam diri individu saat penerimaan pesan terjadi akan memudahkan proses internalisasi pesan tersebut di dalam dirinya. Membaca uraian sebelumnya dan dikaitkan dengan peringatan besok pagi, sudah selayaknya kita mengatakan tidak pada iklan rokok!
Dimuat di Harian Bernas Yogyakarta 23 Juli 2010
i telah merokok mulai dari waktu masa 17 tahun. awalnya cuma krn rasa pengen tahu bagaimanakah rasanya merokok. sampe saat ini gw masih saja lum dapat jauh dr merokok. gua selalu menemukan product yg dikatakan bs buat menghentikan merokok. cuma masih saja gak yakin :d