Sun. Nov 3rd, 2024

Pada saat seseorang jatuh sakit, maka secara psikologis, dia berada pada daerah rentan, daerah yang tidak pernah diharapkan seseorang untuk dimasukinya. Jika dia kemudian memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter/rumah sakit ataupun puskesmas agar kembali sehat, praktis, konsumen tersebut adalah konsumen yang berangkat dari sebuah keterpaksaan.

video musang

Ironisnya, kondisi keterpaksaan untuk menjadi konsumen tersebut, sering harus berhadapan dengan keterbatasan yang ada di unit pelayanan kesehatan. Kasus pasien yang dibiarkan lama menunggu (meskipun masuk ke gawat darurat), kasus kesulitan memperoleh tempat di rumah sakit, sering memaksa konsumen memilih tempat yang berada di luar jangkauan keuangannya atau bahkan justru memilih mengurungkan kebutuhannya untuk berobat. Kesempatan untuk mendapatkan jaminan pengobatan sakit yang di deritanya, sering berubah menjadi sebuah kejengkelan dan ketidak berdayaan menghadapi keterbatasan mutu pelayanan rumah sakit.

Mutu pelayanan rumah sakit sendiri sebagai penyedia jasa kesehatan, tidak dapat terlepas dari tenaga medis dan non medis. Dikatakan, mutu pelayanan yang optimal merupakan kerja tim yang sinergis antara tenaga medis dan tenaga non medis (para medis dan penunjang).

Dapat dibayangkan, sebuah rumah sakit mempunyai tenaga medis yang baik, namun tenaga para medis maupun penunjang kurang. Maka, yang terjadi fenomena-fenomena seperti perawat hanya dapat melayani dokter saja, adanya antrian panjang dari unit pendaftaran pasien, pengambilan obat, ataupun ketimpangan kerja lainnya, yang pada ujungnya merugikan konsumen.

Kerugian di pihak konsumen, tentu saja merupakan preseden yang buruk bagi sebuah pelayanan jasa. Apalagi jasa itu adalah rumah sakit, yang notabenenya mengemban fungsi-fungsi sosial dan kemanusiaan, karena berkaitan dengan keselamatan jiwa seseorang. Karenanya, membangun sebuah rumah sakit yang berperspektif pada perlindungan konsumen, menjadi penting dilakukan, untuk meminimalis kerugian-kerugian yang dialami pasien saat datang ke rumah sakit.

*************

Mengacu pada Pasal 1 (BAB I), ayat 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), tahun 1999, (yang berbunyi : pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi), maka rumah sakitpun dimasukkan sebagai pelaku usaha dan harus mengikuti aturan-aturan yang terdapat dalam UUPK. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah kewajiban pelaku usaha (Pasal 7), yang meliputi : 1). beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2). memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; 3). memberlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4). menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5). memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6). memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barng dan/atau jasa yang diperdagangkan; 7). memberi kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban-kewajiban tersebut merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi oleh pelaku usaha, termasuk rumah sakit. Pengetahuan, serta pemahaman tentang ketujuh hal di atas, harus diberikan baik kepada tenaga medis, para media maupun penunjang, dari tingkat jenjang paling tinggi sampai jenjang paling rendah.

Sering kita mendengar keluhan sebagian konsumen kita dari kalangan masyarakat kelas bawah, pegawai negeri pengguna askes (dulu H.I.). Diskriminasi pelayanan pasien dari golongan ini sering kita temui. Kemudahan-kemudahan yang dijanjikan bagi peserta askes, seperti sukar untuk dicari. Birokrasi rumah sakit ataupun birokrasi lintas departemen, menjadi hambatan bagi pengguna askes untuk mendapatkan layanan cepat sehingga penyakitnya juga cepat diobati. Belum lagi sikap tidak ramah dari petugas non medis ketika berhadapan dengan mereka. Satu pengalaman pribadi, pernah penulis alami di tahun 1994, ketika akan kartu askes dalam periksa ke sebuah rumah sakit negeri. Kartu askes yang sudah dibawa (orang tua pegawai negeri, di Kabupaten Boyolali), ternyata tidak bisa  digunakan di sini, sebelum mendapat rekomendasi dari puskesmas di Boyolali, kemudian disahkan di Instansi yang bersangkutan. Karena lintas propinsi, maka prosesnya menjadi lebih berbelit, karena harus disahkan oleh instansi terkait pula sampai tingkat propinsi. Bayangkan, dalam kondisi sakit, harus bolak-balik Boyolali-Semarang-Yogya untuk mengurus itu semua. Akibatnya, karena kondisi badan yang memang tidak memungkinkan untuk mengurus semua itu, karena juga memakan tenaga dan waktu (tidak cukup satu hari), maka saya memilih untuk tidak jadi periksa. Peraturan-peraturan seperti itu menjerat para pemakai askes, hingga sering dihadapkan pada pilihan yang tidak mengenakkan.

*********

Di samping pengetahuan tentang kewajiban pelaku usaha, maka UUPK juga memuat pasal tentang hak-hak konsumen, yang termuat pada Bab II (pasal 4). Pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak konsumen ini dapat dijadikan dasar bagi pelayanan tenaga non medis rumah sakit, untuk dapat memberikan pelayanan yang perspektif konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah meliputi : 1). hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 2). hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3). hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4). hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5). hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6). hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7). hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8). hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang da/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Hak-hak konsumen di atas, harus dipahami karyawan rumah sakit, sehingga tidak terjadi pelanggaran atasnya. Beberapa kasus yang bisa terjadi sebagai sebuah pelanggaran hak-hak konsumen rumah sakit oleh tenaga non medis, antara lain, ketidak jelasan informasi tentang harga layanan (informasi sering diberikan setelah pasien mendapat perlakuan medis, bukannya di awal), perlakuan yang diskriminatif dari petugas non medis terhadap pasien, kesalahan pembacaan resep obat, penggantian obat dalam resep tanpa konsultasi kepada dokter ataupun memberitahu kepada konsumen, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak konsumen itu, tentu saja merupakan pelanggaran terhadap UUPK. Pasien berhak mengajukan gugatan apabila terjadi pelanggaran tersebut. Dalam UUPK sendiri, ada Bab yang mengatur tentang upaya penyelesaian sengketa konsumen (Bab X, Penyelesaian Sengketa konsumen, pasal 45 sampai pasal 48). Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan ataupun non pengadilan. Kemudian, pemerintah sendiri akan membentuk sebuah badan, yang disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang akan didirikan di setiap Daerah tingkat II, untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen di luar pengadilan.

***********

Secara khusus, seorang pasien juga mempunyai hak-hak pasien. Hak-hak pasien itu dapat dibagi menjadi dua hak, yakni Hak Primer, berupa memperoleh pelayanan medik yang benar dan layak berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Yang kedua hak sekunder  meliputi : a). informasi medis tentang penyakitnya; b). informasi tindakan medis (tujuan, manfaat, efek samping, apakah hal tersebut merupakan satu-satunya alternatif bagi pasien?); c). informed konsent (persetujuan sebuah tindakan medis); d). rahasia penyakit; e). surat keterangan dokter; f). memutuskan hubungan kontraktual terapeutik setiap saat.

Piagam hak-hak pasien dapat digunakan sebagai pedoman membuat standar kualitas rumah sakit atau pelayanan kesehatan oleh pembuat peraturan. Sejalan dengan itu, memang perlu terus dilakukan penghilangan kekuatiran para pegawai dan tenaga medis terhadap adanya UUPK. Informed konsen sendiri harus dilihat sebagai sebuah respec kalangan rumah sakit kepada konsumen. Penggunaan peralatan dengan teknologi tinggi, hanya diberikan kepada pasien setelah pasien diberitahu tentang kebutuhan untuk kesehatan mereka, biaya yang harus ditanggung dan tentang resikonya.

Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, tentu saja menjadi sebuah altenatif yang harus dilakukan dalam mensikapi UUPK itu sendiri. Ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan bagi peningkatan mutu pelayanan rumah sakit. Pertama, penghayatan akan fungsi sosial rumah sakit, yang mencakup : a. ikthtiar dan penyembuhan yang terjangkau, b. perlakuan yang manusiawi ketika tengah meminta uang muka, c. informasi perkiraan biaya yang akan dibutuhkan, d. kejelasan bila akan menunggu lama. Kedua, tersedianya sarana pelayanan pasien berpenghasilan rendah, meliputi : a. konsekwensi melaksanakan peraturan pemerintah, b. subsidi silang pasien mampu dan tidak mampu, c. peralatan yang memadai. Ketiga, keseimbangan tenaga medis, para medis dan penunjang, meliputi : a. profesionalisasi, b. sanksi yang jelas dan tegas bagi pelanggar. Keempat, pemberian pengertian dan informasi akan penyakit dan terapi. Kelima, pemahaman akan kerentanan psikologis pasien, meliputi : keramahan, kesabaran, informasi jelas, komunikasi bagus serta perlakuan manusiawi. Keenam, kebersihan lingkungan dan disiplin dari pengunjung.

Mengacu pada keenam hal di atas, maka dapat dipahami, bahwa perlindungan konsumen kesehatan tidak hanya didapatkan dari tenaga medis saja. Namun, tenaga non medispun sangat berpengaruh dalam menyumbang pelayanan kesehatan yang ramah konsumen. Untuk itu, mutu pelayanan tenaga non medis ini, juga harus diupayakan mempunyai kepekaan terhadap perlindungan konsumen.

By tutik

4 thoughts on “Mutu Tenaga Non Medis Rumah Sakit”
  1. adakah peraturan perundang2an yg menyatakan secara tegas bahwa dokter adl pelaku usaha?

    UU perlindungan konsumen, UU praktek kedokteran n UU kesehatan tidak menjelaskan demikian..

Comments are closed.